Aku Nggak Mecahin, Kok!
MOTHER & BABY
MOTHER & BABY
Mengakui kesalahan dan belajar bertanggung jawab bukan hal mudah bagi anak. Ia butuh panduan dari orangtua.
"Bukan aku yang mecahin piringnya! Aku cuma mau pakai sebentar! Mama kok marah?" teriakan Rintan melengking. Anak berumur 5 tahun itu berlari ke kamarnya dan membanting pintu. Brak! Ia menangis.
Polah putri pertama Wanti membuat ibu muda ini kesal. Bagaimana tidak. Ia melihat sendiri putrinya memecahkan piring antik yang ada di atas bufet. Ingin sekali Wanti marah. Tapi, ia kuatir tindakannya salah.
Paham Tanggung Jawab
Anak usia 5 tahun sebenarnya sudah memahami tanggung jawab. Hanya, menurut psikolog perkembangan anak Dra. Henny Eunike Wirawan, M.Psi., pemahaman rasa tanggung jawab si kecil masih sangat terbatas. "Anak baru memahami tanggung jawab yang sederhana. Misal, ia harus mengerjakan PR yang ditugaskan gurunya. Sebab kalau tidak, ia akan ditegur."
Konsep sederhana ini menggambarkan, anak hanya mau bertanggung jawab terhadap kesalahan yang benar-benar ia lakukan. Tapi bila perilaku buruk itu terjadi karena suatu alasan yang menurutnya jelas, umumnya anak tak mau mengakuinya. Seperti yang dilakukan Rintan. Bocah itu tak mengakui memecahkan piring, sebab ia beralasan, ia cuma ingin memakai piring itu untuk mengalasi kuenya.
Penyangkalan yang dilakukan anak bukan karena ia tak mau bertanggung jawab. Ia cuma tak ingin berada di posisi yang tak nyaman karena dipersalahkan, serta takut orangtuanya marah dan kecewa pada perilakunya.
Pemahaman yang terbatas ini masih perlu terus dikembangkan, agar si kecil punya rasa tanggung jawab yang utuh. Untuk itu anak sangat membutuhkan bantuan orangtua. "Latihlah si kecil bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan, tanpa harus membuatnya merasa malu atau menyudutkannya," saran Henny, yang juga dosen di Universitas Tarumanagara, Jakarta. Berikut beberapa saran Henny agar orangtua bisa efektif membangun rasa tanggung jawab si kecil.
Tidak Disudutkan
Saat si kecil berbuat salah, seringkali orangtua memaksanya mengakui kesalahan itu dengan cara yang kurang benar. Misal, melalui debat panjang dengannya. Padahal, itu tidak perlu dilakukan. Bila Anda melihat sendiri kesalahan itu dilakukannya, katakan bahwa Anda melihat ia melakukan perbuatan itu. Ajak si kecil ke tempat di mana hanya ada Anda dan dia. Dengan begitu, anak tak akan merasa sungkan untuk mengakui kesalahannya dan menyadari bahwa orangtua masih menghargainya.
Fokuskan pada Perbaikan
Meski tak mau mengakui kesalahannya di hadapan Anda, si kecil tetap saja menunjukkan rasa bersalahnya dengan ekspresi takut pada wajah atau gerak tubuh. Perasaan khawatir ini muncul karena ia merasa tak mungkin mampu memperbaiki kesalahannya. Satu-satunya jalan, ia menyangkal perbuatan buruknya.
Orangtua perlu membantu dengan cara memfokuskan diri pada perbaikan yang perlu dilakukan si kecil, bukan pada kesalahan yang sudah dilakukannya. Bantulah ia memperbaiki kesalahannya. Bila si kecil merusak barang milik temannya, bantu ia memperbaiki benda tersebut dan berikan keberanian padanya untuk mau meminta maaf.
Mendesak anak mengakui kesalahannya bukanlah hal penting. Yang paling penting adalah membuatnya mengerti bahwa perilaku buruknya berakibat tidak baik bagi orang lain dan dirinya. Berikan hukuman hanya bila ia melakukan kesalahan yang betul-betul disengaja.
Berikan Kepercayaan
Perasaan tanggung jawab akan muncul bila anak merasa mampu mengemban tanggung jawab itu. Untuk itu orangtua perlu membangun rasa mampu pada diri anak agar ia percaya pada dirinya dan memiliki harga diri. Memiliki rasa mampu berarti memilki sumber daya, kesempatan, dan kemampuan untuk mempengaruhi keadaan hidupnya sendiri.
Berikan kesempatan pada si kecil untuk membuat pilihan dan keputusan, menunjukkan kecakapannya, dan mengerjakan tugas yang sesuai kemampuannya. Orangtua perlu menciptakan peluang tersebut. Setiap kali kemampuan anak bertambah, ia perlu diberi kesempatan untuk mempraktikan kemampuannya. Berikan pula sumber daya dan sarana yang cukup agar si kecil mudah melakukannya. Bila si kecil wajib merapikan kamarnya, berikan lemari penyimpan barang di kamarnya dsb.
Beri Contoh yang Jelas
Orangtua adalah contoh paling dekat bagi anak. Orangtua yang tidak bertanggung jawab tak bisa mengajarkan anak-anak mereka untuk bertangung jawab. Berikut beberapa sikap orangtua yang tak bisa jadi contoh yang baik: orangtua yang menyalahkan orang lain untuk kesulitan yang mereka alami; tidak tegas; melupakan; mengalihkan tanggung jawab; atau menyerahkan keputusan pada orang lain.
Bila orangtua melakukan tugasnya dengan niat baik, komitmen, dan kepastian yang besar, anak cenderung meniru karakter seperti itu. Karena penting sekali bagi orangtua menjadi teladan dalam bertanggung jawab. Orangtua bisa memberikan contoh yang sederhana betapa pentingnya tanggung jawab itu.
Melaksanakan Komitmen
Tanggung jawab erat kaitannya dengan komitmen. Pengertian komitmen ini perlu dipahami anak agar ia bertanggung jawab terhadap komitmen yang sudah diputuskannya. Misal, bila si kecil berjanji akan mengembalikan mainan temannya, lalu karena sesuatu hal ia tak bisa memenuhinya, bantu ia memenuhi kometmen itu dengan memberinya jalan. Bila tidak, ajak si kecil meminta maaf pada temannya dan buatlah janji di lain waktu.
Berikan Pilihan
Seringkali kita menganggap tanggung jawab yang kita berikan pada si kecil dipahami dan disukainya. Padahal, bisa jadi ia mampu melakukan hal lain yang lebih baik. Misal, Anda meminta si kecil untuk menghafal sebuah lagu, padahal ia sama sekali tak menyukai lagu itu. Akan lebih baik bila kita memberi kesempatan padanya untuk menunjukkan rasa tanggung jawabnya dengan memberi banyak pilihan dan kesempatan. Sebenarnya hal yang paling menakjubkan pada perkembangan tanggung jawab si kecil adalah saat melihat ia menunjukkan kepeduliannya terhadap suatu perbuatan atau kewajiban. b Mila Meiliasari
Sumber: Tabloid Ibu & Anak
0 comments:
Posting Komentar
Bila tak pegal di tangan
silahkan tulis sebuah komentar!
Yang Bisa Membuat Blog ini Lebih Bagus Ya :)
harap maklum masih newbie
Dan jika ada yang mau memaki-maki saya harap dengan sopan dan santun?