Anak Pun Bisa Kena OCD
MOTHER & BABY
MOTHER & BABY
Semula gangguan obsesif-kompulsif dikira hanya terjadi pada orang dewasa. Namun sebenarnya anak-anak juga bisa mengalaminya.
Luki baru berumur 2,5 tahun ketika ia mulai bertingkah aneh. Ia berlama-lama menyusun mainan mobil-mobilannya dalam urutan yang itu-itu saja. Ia akan marah dan menjadi galak jika ada orang lain yang mengubah urutannya. Saat usianya 4 tahun, ia melakukan aktivitas rutin lainnya hampir 8 jam sehari. Ia berjalan ke pintu depan, mengunci pintunya, lalu balik lagi ke ruang mainnya. Eh, baru 5 menit, ia balik lagi dan mengunci pintu depan yang sebenarnya sudah terkunci itu. Begitu berkali-kali, sampai ibunya, Ny. Hilda, tak habis pikir dengan si buyung semata wayangnya itu. Baru dua tahun kemudian, teman Ny. Hilda yang seorang psikolog klinis memberitahunya bahwa si kecil terkena OCD alias obsessive compulsive disorder.
OCD merupakan gangguan kecemasan yang dicirikan dengan timbulnya sifat obsesif yang berulang-ulang dan mengganggu. Obsesif sendiri adalah ide, pikiran, atau dorongan yang sering timbul, tak diinginkan, namun tak juga bisa hilang, dan sering timbul tanpa disadari. Pikiran ini melintas begitu saja ketika anak tengah berpikir atau melakukan sesuatu yang lain.
Misalnya saja, takut dengan kotoran, sampah, atau kuman. Atau, terlalu perhatian dengan masalah urutan, bentuk, keseragaman, atau ketepatan. Bisa juga, secara konstan berpikir tentang suara, gambar, kata-kata, angka-angka tertentu, terlalu khawatir dengan masalah kesehatan, keamanan, setan, dsb.
Sedangkan kompulsif adalah tindakan berulang-ulang yang membuat anak seperti disetir untuk melakukannya secara teratur, untuk mengatasi obsesi yang dialaminya. Saat si penderita melakukan ritual ini, ia mungkin merasa lepas dari kecemasan. Namun itu tidak lama. Segera kecemasan itu muncul lagi dan si penderita merasa diharuskan untuk mengulangi perilakunya. Meski, bagi penderita -- dan juga orang lain yang melihatnya -- sepertinya itu tak masuk akal.
Contoh misalnya mencuci tangan berkali-kali, mengecek berulang-ulang apakah pintu rumah terkunci, atau alat-alat rumah tangga dimatikan. Menyusun lagi benda-benda sehingga punya urutan yang tepat, menghitung satu angka lagi dan lagi. Atau juga menyentuh benda-benda tertentu secara berulang-ulang. Akhirnya, ritual itu akan makin menyita waktu si penderita dari hari ke hari, membuat ia akhirnya tak berperilaku normal lagi.
Di Indonesia, data jumlah anak penderita OCD memang belum diketahui. Namun di AS, OCD kini menjadi salah satu penyakit mental yang paling umum, bersama depresi dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Menurut data terbaru American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 1 di antara 200 anak AS mengalami OCD. Sampai sekarang di sana ada 1 juta kasus OCD anak-anak.
Dimulai Usia 2 Tahun
Penyebab OCD belum banyak diketahui. Namun diduga penyebabnya adalah kurangnya serotonin, senyawa kimia dalam otak, penghantar impuls saraf yang membuat sel-sel saraf dalam otak berkomunikasi satu sama lain. Namun diduga faktor genetik juga berperan, kata Francine Blattner, M.D., psikiatris anak di Portland, AS. Di samping itu, anak yang punya bawaan lahir cepat bereaksi terhadap stres akan lebih rentan kena OCD.
Menurut Blattner, usia 2-4 tahun seringkali mengalami OCD ringan sebagai bagian normal dari perkembangan. Sebagai contoh, anak menjadi kecewa jika ia memegang kue yang tidak bulat benar, atau memaksa supaya makanan diatur dalam urutan tertentu di piring sebelum ia mau memakannya. Umumnya pakar perkembangan menilai, perilaku seperti itu ikut membantu anak mengorganisasi dan memahami lingkungannya.
Namun perilaku ini seharusnya sudah mulai menghilang setelah usia 4 tahun. Sementara, anak pengidap OCD melakukan ritual itu sampai di tahap yang ekstrem, sampai orangtua menyerah. Dan umumnya, kata Robert King, M.D., profesor psikiatris anak di Yale University School of Medicine di New Haven, AS, anak penderita OCD mulai menunjukkan gejala-gejala itu pada usia 5 tahun, meski awalnya bisa dimulai pada usia 2 tahun. "Perbedaan paling penting antara ritual yang normal dan yang OCD adalah, perilaku OCD itu mengganggu perkembangan anak," kata Dr. King.
Sayangnya, sampai sekarang belum ada obat OCD. Dan menangani anak dengan OCD ini tidak mudah. Mereka kerap sulit menjelaskan apa yang terjadi pada mereka. Namun dengan penanganan perilaku dan bantuan obat-obatan, gangguan itu bisa dikontrol.
Terapi Perilaku
Tidak ada tes khusus untuk mendeteksi OCD pada anak. Untuk menentukan diagnosis, biasanya dokter psikiatri anak akan memberikan beberapa pertanyaan kepada orangtua tentang perilaku dan emosi anak. Misalnya, apakah ritual yang dilakukan anak membuat anak stres? Apakah anak menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang? Apakah rutinitas itu mengganggu kegiatan harian lain dan fungsi sosialnya? Jika dokter menyimpulkan anak mengalami OCD, ia akan merekomendasikan terapi perilaku dan pengobatan dengan obat antidepresi.
Obat-obat antidepresi yang digunakan biasanya yang dapat meningkatkan kinerja otak untuk menggunakan serotonin. Sedangkan pada terapi perilaku, anak dikenalkan dengan obyek yang dicemaskannya, namun ia dicegah untuk melakukan aktivitas yang biasa dilakukannya. Misal, anak selalu mencuci tangan setiap kali menyentuh pegangan pintu. Ia diminta menyentuh pegangan pintu tersebut, tapi dilarang mencuci tangan. Selama masa penanganan ini -- sekitar 10 minggu -- gejala-gejala anak akan menurun bertahap dalam frekuensi maupun intensitasnya, hingga tingkat kesembuhannya mencapai 50-90%.
Sukses Merawat Anak OCD
Ikuti skedul pengobatan.
Jangan pernah melewatkan sesi terapi.
Ikut sertakan keluarga. Berikan buku dan bahan-bahan literatur lain tentang OCD dan dorong anggota keluarga untuk mempelajarinya.
Sabar dengan kemajuan yang dicapai anak.
Puji sukses-sukses kecil. Berkurangnya 10 menit dari waktu yang biasanya dipakai untuk cuci tangan atau mengunci pintu bagi kita tampaknya tidak penting, namun bagi penderita OCD, hal itu sangat berarti.
Jangan ikut-ikutan melakukan aktivitas OCD anak, dengan tujuan menyenangkan anak. Ini malah membuat kondisi anak makin memburuk.
Jangan selalu mengawasi anak. Berikan kepercayaan bahwa ia mampu sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan OCD-nya.
Sumber: Tabloid Ibu & Anak
Luki baru berumur 2,5 tahun ketika ia mulai bertingkah aneh. Ia berlama-lama menyusun mainan mobil-mobilannya dalam urutan yang itu-itu saja. Ia akan marah dan menjadi galak jika ada orang lain yang mengubah urutannya. Saat usianya 4 tahun, ia melakukan aktivitas rutin lainnya hampir 8 jam sehari. Ia berjalan ke pintu depan, mengunci pintunya, lalu balik lagi ke ruang mainnya. Eh, baru 5 menit, ia balik lagi dan mengunci pintu depan yang sebenarnya sudah terkunci itu. Begitu berkali-kali, sampai ibunya, Ny. Hilda, tak habis pikir dengan si buyung semata wayangnya itu. Baru dua tahun kemudian, teman Ny. Hilda yang seorang psikolog klinis memberitahunya bahwa si kecil terkena OCD alias obsessive compulsive disorder.
OCD merupakan gangguan kecemasan yang dicirikan dengan timbulnya sifat obsesif yang berulang-ulang dan mengganggu. Obsesif sendiri adalah ide, pikiran, atau dorongan yang sering timbul, tak diinginkan, namun tak juga bisa hilang, dan sering timbul tanpa disadari. Pikiran ini melintas begitu saja ketika anak tengah berpikir atau melakukan sesuatu yang lain.
Misalnya saja, takut dengan kotoran, sampah, atau kuman. Atau, terlalu perhatian dengan masalah urutan, bentuk, keseragaman, atau ketepatan. Bisa juga, secara konstan berpikir tentang suara, gambar, kata-kata, angka-angka tertentu, terlalu khawatir dengan masalah kesehatan, keamanan, setan, dsb.
Sedangkan kompulsif adalah tindakan berulang-ulang yang membuat anak seperti disetir untuk melakukannya secara teratur, untuk mengatasi obsesi yang dialaminya. Saat si penderita melakukan ritual ini, ia mungkin merasa lepas dari kecemasan. Namun itu tidak lama. Segera kecemasan itu muncul lagi dan si penderita merasa diharuskan untuk mengulangi perilakunya. Meski, bagi penderita -- dan juga orang lain yang melihatnya -- sepertinya itu tak masuk akal.
Contoh misalnya mencuci tangan berkali-kali, mengecek berulang-ulang apakah pintu rumah terkunci, atau alat-alat rumah tangga dimatikan. Menyusun lagi benda-benda sehingga punya urutan yang tepat, menghitung satu angka lagi dan lagi. Atau juga menyentuh benda-benda tertentu secara berulang-ulang. Akhirnya, ritual itu akan makin menyita waktu si penderita dari hari ke hari, membuat ia akhirnya tak berperilaku normal lagi.
Di Indonesia, data jumlah anak penderita OCD memang belum diketahui. Namun di AS, OCD kini menjadi salah satu penyakit mental yang paling umum, bersama depresi dan attention deficit hyperactivity disorder (ADHD). Menurut data terbaru American Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 1 di antara 200 anak AS mengalami OCD. Sampai sekarang di sana ada 1 juta kasus OCD anak-anak.
Dimulai Usia 2 Tahun
Penyebab OCD belum banyak diketahui. Namun diduga penyebabnya adalah kurangnya serotonin, senyawa kimia dalam otak, penghantar impuls saraf yang membuat sel-sel saraf dalam otak berkomunikasi satu sama lain. Namun diduga faktor genetik juga berperan, kata Francine Blattner, M.D., psikiatris anak di Portland, AS. Di samping itu, anak yang punya bawaan lahir cepat bereaksi terhadap stres akan lebih rentan kena OCD.
Menurut Blattner, usia 2-4 tahun seringkali mengalami OCD ringan sebagai bagian normal dari perkembangan. Sebagai contoh, anak menjadi kecewa jika ia memegang kue yang tidak bulat benar, atau memaksa supaya makanan diatur dalam urutan tertentu di piring sebelum ia mau memakannya. Umumnya pakar perkembangan menilai, perilaku seperti itu ikut membantu anak mengorganisasi dan memahami lingkungannya.
Namun perilaku ini seharusnya sudah mulai menghilang setelah usia 4 tahun. Sementara, anak pengidap OCD melakukan ritual itu sampai di tahap yang ekstrem, sampai orangtua menyerah. Dan umumnya, kata Robert King, M.D., profesor psikiatris anak di Yale University School of Medicine di New Haven, AS, anak penderita OCD mulai menunjukkan gejala-gejala itu pada usia 5 tahun, meski awalnya bisa dimulai pada usia 2 tahun. "Perbedaan paling penting antara ritual yang normal dan yang OCD adalah, perilaku OCD itu mengganggu perkembangan anak," kata Dr. King.
Sayangnya, sampai sekarang belum ada obat OCD. Dan menangani anak dengan OCD ini tidak mudah. Mereka kerap sulit menjelaskan apa yang terjadi pada mereka. Namun dengan penanganan perilaku dan bantuan obat-obatan, gangguan itu bisa dikontrol.
Terapi Perilaku
Tidak ada tes khusus untuk mendeteksi OCD pada anak. Untuk menentukan diagnosis, biasanya dokter psikiatri anak akan memberikan beberapa pertanyaan kepada orangtua tentang perilaku dan emosi anak. Misalnya, apakah ritual yang dilakukan anak membuat anak stres? Apakah anak menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal yang sama berulang-ulang? Apakah rutinitas itu mengganggu kegiatan harian lain dan fungsi sosialnya? Jika dokter menyimpulkan anak mengalami OCD, ia akan merekomendasikan terapi perilaku dan pengobatan dengan obat antidepresi.
Obat-obat antidepresi yang digunakan biasanya yang dapat meningkatkan kinerja otak untuk menggunakan serotonin. Sedangkan pada terapi perilaku, anak dikenalkan dengan obyek yang dicemaskannya, namun ia dicegah untuk melakukan aktivitas yang biasa dilakukannya. Misal, anak selalu mencuci tangan setiap kali menyentuh pegangan pintu. Ia diminta menyentuh pegangan pintu tersebut, tapi dilarang mencuci tangan. Selama masa penanganan ini -- sekitar 10 minggu -- gejala-gejala anak akan menurun bertahap dalam frekuensi maupun intensitasnya, hingga tingkat kesembuhannya mencapai 50-90%.
Sukses Merawat Anak OCD
Ikuti skedul pengobatan.
Jangan pernah melewatkan sesi terapi.
Ikut sertakan keluarga. Berikan buku dan bahan-bahan literatur lain tentang OCD dan dorong anggota keluarga untuk mempelajarinya.
Sabar dengan kemajuan yang dicapai anak.
Puji sukses-sukses kecil. Berkurangnya 10 menit dari waktu yang biasanya dipakai untuk cuci tangan atau mengunci pintu bagi kita tampaknya tidak penting, namun bagi penderita OCD, hal itu sangat berarti.
Jangan ikut-ikutan melakukan aktivitas OCD anak, dengan tujuan menyenangkan anak. Ini malah membuat kondisi anak makin memburuk.
Jangan selalu mengawasi anak. Berikan kepercayaan bahwa ia mampu sedikit demi sedikit mengurangi kebiasaan OCD-nya.
Sumber: Tabloid Ibu & Anak
0 comments:
Posting Komentar
Bila tak pegal di tangan
silahkan tulis sebuah komentar!
Yang Bisa Membuat Blog ini Lebih Bagus Ya :)
harap maklum masih newbie
Dan jika ada yang mau memaki-maki saya harap dengan sopan dan santun?