Adsense Indonesia

menyoal thimerosal lanjutan

0

Mungkin informasi dibawah ini berguna bagi rekan-rekan. Saya mendapatkannya  dari seorang teman.
Salam

Sejak menjadi program WHO secara internasional pada tahun 1974, sekarang vaksinasi (atau disebut juga imunisasi) telah menjadi acuan wajib hampir semua anak yang lahir di dunia tak terkecuali Indonesia. CDC Atlanta melaporkan penurunan morbiditas antara selama abad 20 dengan tahun 2001 pada penyakit-penyakit seperti cacar air, difteria, polio, campak sampai 100%, juga tetanus (97,9%), pertusis (96,3%) dan mumps (99,8%). Meski tanpa menunjukkan data-data tertulis, keberhasilan ini pun terasa di Indonesia dengan Program Imunisasi Dasar yang dilengkapi dengan Imunisasi lanjutan.

Namun belakangan, muncul berbagai laporan yang meragukan keamanan vaksin. Salah satu yang menonjol adalah kandungan thimerosal yang dikaitkan dengan timbulnya gejala autisme dan gangguan perkembangan neurologis. Ini didasari bahwa 49,6% thimerosal adalah merkuri, yang dalam dosis tertentu diketahui menimbulkan gangguan neurologis dan nefrologis. Contoh kasus terkenal adalah Minamata di Jepang, dimana paparan merkuri melalui konsumsi ikan oleh ibu hamil, berakibat gangguan pertumbuhan pada janinnya.

Thimerosal disebut juga thiomersal, mercurothiolate dan sodium 2-ethylmercuriothio-benzoate. FDA menetapkan penggunaan thimerosal sebagai zat pengawet pada kemasan vaksin multi-dose dan pada beberapa vaksin dari virus hidup misalnya MMR, polio dan BCG untuk menghambat kontaminasi bakteri
dan jamur. Sebagai pengawet thimerosal ditambahkan pada proses akhir. Selain itu, thimerosal digunakan sebagai inactivating agent pada pembuatan vaksin tertentu (misalnya whole cell dan acellular pertusis) atau sebagai bakteriostatik (misalnya pada vaksin influenza). Peranan selain sebagai pengawet ini menambah kadar akhir hanya sekitar 2 -- 3 mg/ml. Merkuri sendiri berada dalam 3 bentuk : elemen metalik, garam anorganik dan organik (misalnya metil merkuri, etil merkuri dan fenil merkuri). Toksisitas merkuri tergantung pada bentuk, rute masuknya ke dalam tubuh, dosis dan umur saat terjadi paparan. Semua orang mendapat paparan merkuri dari lingkungan dalam jumlah kecil. Janin dan bayi lebih sensitif daripada orang dewasa.
Kerusakan yang terjadi karena merkuri dapat menembus sawar otak, disamping kerusak ginjal dan sistem imun, karena terakumulasi di otak, ginjal dan sel-sel organ vital.

Yang sudah banyak diteliti adalah bentuk metil merkuri, sedang etil merkuri belum banyak diketahui. Environmental Protection Agency (EPA) menetapkan batas aman paparan metil merkuri 0,1 mg/kg/hari, Agency for Toxic Substances and Disease Registry (ATSDR) menetapkan 0,3 mg/kg/hari, sementara FDA
menetapkan 0,4 mg/kg/hari dan WHO menetapkan 0,47 mg/kg/hari. Belum didapat cukup data yang membandingkan metil merkuri dan etil merkuri seperti dalam thimerosal.

Kadar akhir merkuri pada vaksin berkisar 12,5 -- 25 mg. Vaksin hepatitis B, DPT, DTaP, HIB dan influenza mengandung 25mg/ml. Sementara jenis baru vaksin hepatitis B mengandung 12,5 mg/ml. Dengan takaran ini, bayi sampai berumur 6 bulan misalnya, akan mendapat paparan 75 mg merkuri dari imunisasi dasar. Bila ada tambahan hepatitis B akan menjadi 112,5 kemudian menjadi 187,5 mg bila dilengkapi vaksin HiB dan 200 mg bila disertai vaksin influenza. Perhitungan ini menunjukkan melampaui batasan EPA untuk (65 -- 106 mg sesuai rentang persentil berat badan bayi), tetapi masih dibawah batasan ATSDR (194 - 319 mg), FDA (259 -- 425 mg) dan WHO (305 -- 501 mg).

Journal of American Physicians and Surgeons melaporkan analisis terhadap data di VAERS (Vaccine Adverse Events Reporting System). Disebutkan, adanya paparan 75 -- 100 mg merkuri dari vaksin yang mengandung thimerosal menimbulkan peningkatan 2 -- 6 kali pada insiden gangguan perkembangan neurologis dan penyakit jantung dibandingkan kelompok yang mendapat vaksin tanpa thimerosal. Tetapi laporan ini dibantah oleh American Academy of Pediatrics (AAP) karena dianggap salah melakukan estimasi dan analisis terhadap data-data VAERS. AAP menyimpulkan tidak didapatkan bukti hubungan thimerosal dengan insiden penyakit tersebut.

Sementara hampir bersamaan, Toxicological Sciences melaporkan konsentrasi thimerosal untuk menimbulkan efek toksik adalah antara 405 mg/l -- 101 mg/l atau setara dengan kadar merkuri 201 mg/l -- 50 mg/l. Sedang bila dihitung rata-rata, bayi berumur 6 bulan mendapat akumulasi paparan merkuri maksimaldari vaksinasi sebesar 32 -- 52 mg/kg berat badan. Pada perhitungan lebih rinci, angka ini hampir 4 kali lipat lebih rendah dari batas minimal tersebut. Tetapi masih belum jelas apakah paparan dosis rendah dalam jangka panjang akan mempengaruhi tingkat toksisitasnya.

Analisis efek toksik thimerosal selama ini didasarkan pada efek metil merkuri, sementara yang terkandung adalah etil merkuri. Metil merkuri mudah terakumulasi di dalam tubuh karena waktu paruhnya panjang (sekitar 45 hari). Akumulasi akan lebih tinggi pada bayi karena masih belum sempurnanya sistem ekskresi. Sementara pada November 2002, Lancet melaporkan ternyata ekskresi etil merkuri pada bayi berumur 6 bulan, 6 kali lebih cepat daripada metil merkuri (45 hari berbanding 7 hari), sehingga tingkat akumulasinya lebih rendah daripada yang diperkirakan.

Pada tataran klinis, American College of Preventive Medicine menyimpulkan tidak cukup data untuk menerima atau pun menolak hipotesis hubungan antara paparan thimerosal pada vaksin dengan kejadian autisme karena bukti-bukti yang ada masih meragukan.

Menghadapi hasil tersebut, European Agency for Evaluation of Medicinal Products (EMEA), semacam FDA bagi Uni Eropa, menyimpulkan tidak ada bukti kuat efek merugikan pada anak akibat kadar thimerosal pada vaksin, dan karenanya tetap meneruskan program vaksinasi termasuk yang mengandung thimerosal. Tetapi negara seperti Perancis menetapkan kebijaksanaan lebih ketat, dengan mengharuskan penggunaan vaksin hepatitis B bebas thimerosal untuk bayi baru lahir atau menundanya bila tidak berisiko tinggi. Juga secara umum di Eropa saat ini sudah tersedia pilihan vaksin bebas thimerosal.

Sementara FDA, pada tanggal 1 Juli 1999 merekomendasikan untuk mulai menurunkan atau menghilangkan thimerosal dari vaksin. Untuk itu, FDA menganggarkan biaya besar bagi penelitian cara baru menggantikan peran thimerosal. Sambil menunggu, program vaksinasi tetap dijalankan dengan vaksin yang sudah tersedia. Saat ini, di Amerika sudah banyak jenis vaksin produk baru tanpa thimerosal, terutama dalam bentuk single-dose. Juga dinyatakan, batasan kadar yang ditetapkan EPA bukan batas maksimal terjadinya efek toksik, tetapi batas mulai perlunya kewaspadaan akan timbulnya efek toksik.

Sebenarnya thimerosal memang tidak diperlukan dalam kemasan single-dose.Sedang kemasan multi-dose memerlukan zat pengawet, didasari oleh laporan pada awal abad 20. Pada tahun 1916, terjadi kematian pada 4 anak dan gejala lokal maupun sistemik pada 60 anak lainnya di South Carolina akibat mendapat vaksin tifoid yang terkontaminasi bakteri Staphylococcus aureus. Juga pada 1928 di Australia terjadi hal yang sama pada vaksin anti-toksin difteria. Begitupun ada juga laporan masih terjadinya kontaminasi meski sudah mengandung thimerosal. Hal ini menunjukkan diperlukannya penanganan lebih cermat untuk mencegah kontaminasi kemasan multi-dose setelah dibuka segelnya. FDA sendiri secara resmi mengeluarkan analisis tentang thimerosal pada tahun 1976 dengan kesimpulan tidak ada bahaya dari kadar merkuri yang dikandungnya.

Selama ini kemasan multi-dose lebih disukai karena biaya produksi lebih rendah dan memudahkan manajemen rantai beku (cold-chain management) dalam pelayanan vaksinasi. Hal ini sangat berpengaruh untuk program vaksinasi masal di negara-negara berkembang, dengan cakupan wilayah luas dan tenaga pelaksana beragam.

Pengembangan vaksin baru tanpa thimerosal mengharuskan penelitian ulang untuk mencari bahan pengganti dengan biaya sekitar 200 -- 400 juta dollar. Memang sudah ada 2-phenoxy ethanol, etilen glikol atau formaldehida tetapi efektivitasnya di bawah thimerosal. Sementara kendala lain adalah variasi kemampuan produsen lokal, karena saat ini sudah banyak persentase persediaan vaksin merupakan produk lokal.

Kenyataan bahwa negara seperti Amerika atau Perancis menurunkan bahkan berusaha menghilangkan penggunaan thimerosal, tentu erat terkait dengan kemampuan sistem kesehatan nasional masing-masing untuk melaksanakan program tersebut. Sementara kalau kebijaksanaan ini dipaksakan ke seluruh negara,m bisam mengancam kelangsungan program vaksinasi dengan risiko re-epidemi penyakit-penyakit infeksi.

Karena itu WHO melalui Global Advisory Committee on Vaccine Safety (GACVS) menetapkan, hingga saat ini belum ada bukti kuat efek merugikan dari thimerosal pada vaksin. Kebijakan program vaksinasi tetap dijalankan, sambil WHO menganggarkan dana bagi penelitian lebih besar untuk mendapatkan bukti lebih kuat.

Di Indonesia sendiri, masih mengijinkan peredaran vaksin dengan kadar thimerosal 0,005 -- 0,01% karena masih dibawah ambang batas menurut WHO. Juga oleh rekomendasi Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia yang belum mendapatkan bukti-bukti kuat efek merugikan thimerosal dalam vaksin.

Yang tidak boleh dilupakan, banyak sumber lain dari diet dan lingkungan hidup sehari-hari yang berpotensi memberi paparan merkuri, dalam jumlah lebih tinggi daripada akibat pemberian vaksin. Berbagai bentuk polusi bisa menjadi sumber penularan penyakit dan efek toksik. Pada kondisi demikian, ancaman penyakit infeksi makin nyata, dan vaksinasi sangat diperlukan, karena manfaatnya jauh lebih tinggi daripada risiko yang mungkin ditimbulkannya.

Diolah dari beberapa sumber

0 comments:

Posting Komentar

Bila tak pegal di tangan
silahkan tulis sebuah komentar!
Yang Bisa Membuat Blog ini Lebih Bagus Ya :)
harap maklum masih newbie

Dan jika ada yang mau memaki-maki saya harap dengan sopan dan santun?