Arti Tawa Batita
MOTHER & BABY
MOTHER & BABY
Tabloid Ibu & Anak - Bagi orang dewasa, seulas tawa memiliki jutaan makna. Maklum, orang dewasa kan dunianya tidak polos lagi. Bagaimana dengan batita. Apakah tawanya juga punya arti berbeda-beda?
Ada perubahan kebiasaan Alfito yang dirasakan mamanya agak aneh. Dulu, setiap mamanya berangkat ke kantor, Alfito (3 tahun) akan rewel sekali. Ada saja ulahnya. Tapi sekarang setiap melihat mamanya siap-siap berangkat kerja, reaksi Alfito berbeda. Dia akan duduk di depan teve, lalu tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk gambar yang ditayangkan. Padahal gambarnya jauh dari lucu, lho. Cuma layar teve yang menayangkan jadwal acara hari ini.
Anehnya, Alfito tertawa terbahak-bahak sambil melirik-lirik mamanya yang akan berangkat kerja. Tawanya berhenti murung tatkala mamanya menciumnya dan menghilang di balik pintu.
Batita Belajar Tertawa
Bagi orang dewasa, seperti dituturkan psikolog Kassandra Putranto, S.Psi, kegiatan tertawa mengandung banyak makna lantaran tawanya orang dewasa tidak selalu tulus dan spontan. "Tawa orang dewasa seringkali sudah disertai maksud-maksud tertentu tergantung motif komunikasinya," demikian Kassandra.
Dia menambahkan, pada orang dewasa tawa merupakan reaksi yang lebih kompleks, di mana telah terjadi proses pembelajaran berdasarkan pengalaman, sehingga orang dewasa memahami dalam situasi apa, kapan, dan bagaimana mereka harus tertawa.
Bagaimana dengan batita? Menurut Kassandra, tawa batita bisa dikatakan sebagai respons terhadap situasi tertentu dalam tahap sederhana. Di masa batita, lanjutnya, reaksi yang ditampilkan anak adalah dalam rangka mengungkapkan emosi atau perasaannya terhadap stimulasi (rangsangan) lingkungan. Misal, jika melihat sesuatu yang lucu, batita pun tertawa. Atau jika dia menjilat es krim yang manis, atau melihat ayah-ibunya pulang.
Batita tertawa umumnya karena perasaan senang atau bahagia. "Batita masih berada dalam tahap proses pembelajaran 'tawa'. Saat itu mereka baru mulai belajar memahami situasi-situasi apa yang menimbulkan tawa dan bagaimana tawa yang tepat dilakukan," terang Kassandra.
Nah, dalam proses belajar itu, batita juga menduplikasi sekelilingnya. Dia akan memperhatikan bagaimana orang dewasa tertawa (dari teve, kejadian sehari-hari, dll.) dan meniru cara-cara orang dewasa tertawa sehingga kadang muncul tawa-tawa yang 'tidak biasa' pada batita. "Usia batita memang usia belajar role play atau bermain peran. Pada dasarnya apa yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, akan terekam ke dalam memorinya dan mereka akan melakukan pengolahan kembali untuk melakukannya lagi (meniru). Itulah sebabnya orangtua wajib memberikan contoh hal-hal yang baik, termasuk dalam hal tertawa, untuk diduplikasi anak," papar Kassandra.
Menyikapi Tawa-tawa 'Aneh'
Bagamana cara orangtua mengenali tawa batita yang murni atau yang pura-pura? Mudah saja, lihatlah dari ketepatan reaksi dengan stimulasinya. Bila reaksi cocok dengan situasi/rangsangan, berarti normal. Tetapi bila tidak cocok antara stimulasi-reaksi, tawa batita mungkin artifisial. Ada alasan lain yang membuatnya tertawa seperti itu. Orangtua bisa saja menyelidikinya lebih lanjut. Cara terbaik adalah dengan bertanya langsung pada batita apa sebenarnya yang membuatnya tertawa.
Pada kasus Alfito di atas, misalnya. Bisa dipastikan Alfito pura-pura tertawa seolah ada yang lucu di teve, padahal sesungguhnya ia tengah mencari perhatian lantaran sebentar lagi ibunya berangkat bekerja. Bisa juga Alfito sedang 'pura-pura tak peduli' ibunya berangkat bekerja dengan pura-pura menikmati acara teve (tapi reaksi ini langsung berubah 180 derajat begitu si ibu betul-betul pergi).
Oleh karena itu, sebaiknya ibunya meluangkan waktu sejenak sebelum pergi bekerja untuk bertanya pada Alfito mengapa dia tertawa terbahak-bahak padahal tak ada yang lucu di teve. Ini memberi peluang batita mengekspresikan secara jujur perasaannya, misal, sesungguhnya dia sedih sekali ibunya pergi bekerja.
Selain itu menurut Kassandra, orangtua sebaiknya tak bereaksi berlebihan jika memergoki adanya tawa-tawa 'tidak biasa' pada batita. "Mereka cuma sedang belajar. Hal ini sama sekali tak mengganggu perkembangan, bahkan merupakan tugas pembelajaran seorang anak. Batita (juga balita) sedang berada dalam tahap sosialisasi dan pengenalan lingkungan. Jadi untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya, mereka senang bermain, berbicara, bercanda, dan tertawa dengan rangsangan yang mereka temui.
Bahkan mereka mengembangkan imajinasi mereka sendiri, antara lain dengan berpura-pura, teman khayalan (imaginary friend), bermain boneka, bermain perang-perangan, dongeng, dll. Itu yang membuat batita juga sering tertawa sendiri karena di dalam khayalannya mungkin ada sesuatu yang lucu. Tertawa sendiri ini bisa dibilang respons terhadap imajinasinya."
Bila khayalan dan pura-pura ini masih dapat diterima, lanjut Kassandra, orangtua hanya perlu mendukung khayalan batita. Tapi bila khayalan tersebut tak dapat diterima, orangtua perlu memberi koreksi. Misal, jika batita tertawa karena berkhayal sedang membunuh kawannya dengan pedang (seperti di film laga), orangtua perlu meluruskan bahwa membunuh sesama makhluk tidak baik dan bukan sesuatu untuk ditertawakan.
Proses Tertawa pada Manusia
Tawa berawal dari sensasi lucu yang diterima melalui stimulasi visual (penglihatan), audio (pendengaran), maupun sensasi geli yang ditangkap oleh pancaindera.
Sensasi ini diteruskan ke otak melalui saraf sensory motoric, yang diatur oleh susunan saraf otonom, yang berfungsi sebagai pembawa informasi.
Sensasi geli tersebut dipelajari sebagai suatu 'kondisi yang menimbulkan tawa'.
Karena itu, tawa sebenarnya merupakan proses belajar.
Tertawa, dan Batita Pun Sehat
Perilaku senang tertawa ternyata perlu dibudayakan di dalam keluarga. Ini karena efek tertawa baik untuk tubuh. Menurut penelitian, tertawa sangat baik untuk mengendurkan ketegangan saraf otot dan mencapai sikap positif. Bagi kesehatan jiwa, tertawa dapat membuat seorang menjadi lebih ringan menghadapi hidup dan tidak mudah mengalami sakit, seperti maag, stres, dan sakit jiwa. Sedang untuk pergaulan, tertawa membuat seseorang lebih banyak teman, menyenangkan dalam bergaul, membuatnya lebih ramah dan tidak sombong.
Untuk itu orangtua perlu mendidik anak senang tertawa. Terlalu dini jika orangtua mengajarkan batita menahan tawa atau tertawa dengan penuh sopan-santun, karena untuk adab tertawa tersebut batita masih punya waktu cukup panjang untuk belajar dari pengalaman hidupnya kelak. b Esi
Sumber: Tabloid Ibu & Anak
0 comments:
Posting Komentar
Bila tak pegal di tangan
silahkan tulis sebuah komentar!
Yang Bisa Membuat Blog ini Lebih Bagus Ya :)
harap maklum masih newbie
Dan jika ada yang mau memaki-maki saya harap dengan sopan dan santun?